Setiap daerah tentu memiliki mitos yang berbeda-beda. Mitos
berkembang di masyarakat dari mulut ke mulut yang diwariskan secara
turun temurun oleh nenek moyang dan memiliki maksud tertentu seperti
sebuah kepercayaan yang ditampilkan sebagai sesuatu yang sangat dekat
bagi kehidupan manusia dengan lingkungan yang sifatnya patut dipercaya
dan dijadikan teladan atau pedoman hidup. Seperti apa yang
diyakini masyarakat di Desa Lemukih Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng
yaitu “Mitos Larangan Membakar Mayat Saat Ngaben atau sering dikatakan
(bila tanem atau mratiwi)”. Yakni mitos berupa larangan yang sampai saat
ini masih ditaati oleh masyarakat Lemukih. Larangan tersebut adalah
khususnya untuk masyarakat Lemukih tidak diperbolehkan membakar mayat
pada saat upacara Ngaben dilaksanakan. Desa Lemukih merupakan
salah satu desa tertua yang ada di Kabupaten Buleleng. Lemukih banyak
memiliki keunikan-keunikan tersendiri dibandingkan dengan desa-desa yang
lainnya. Dilihat dari penggunaan bahasa masyarakat Lemukih masih
menggunakan bahasa Bali aga, dan memiliki tradisi serta mitos yang masih
sangat kental dan sangat ditaati. Keberadaan mitos tentang
“Larangan Membakar Mayat Saat Ngaben” pada kenyataanya tidak ada buku,
atau pun sumber lainnya yang menyebutkan tentang informasi yang
berkaitan dengan masalah tersebut. Penulis hanya mendapat informasi dari
keterangan atau pendapat tetua adat atau tokoh masyarakat untuk menggali informasi mengenai mitos tersebut.
Diceritakan oleh salah satu tetua adat I Made Widhi
(wawancara, 18 Desember 2011). Beliau adalah seorang mantan Kelian Adat
(Ketua Adat) mengatakan bahwa masyarakat Lemukih menganggap mitos
tersebut menjadi suatu kebenaran yang pasti dan tidak bisa diganggu
gugat. Sesuatu itu demikian karena memang demikian adanya. I Made Widhi mengisahkan
”Larangan Membakar Mayat Saat Ngaben” itu memang sudah dilakukan secara
turun-temurun. Upacara Ngaben yang tidak dengan membakar mayat atau
disebut dengan “bila tanem atau mratiwi”. Filosofinya agar ragha sarira
yang berasal dari unsur pertiwi sementara dapat merunduk pada pertiwi
dulu. Yang secara ethis dilukiskan agar mereka dapat mencium bunda
pertiwi. Selain itu, di desa Lemukih ada salah satu pura yang merupakan
salah satu pura dasar atau pura yang paling di keramatkan oleh
masyarakat Lemukih. Pura yang letaknya di sebelah kanan desa Lemukih itu
memiliki letak yang sangat strategis keberadaan pura tepat berada di
puncak bukit. Maka dari itu, pura itu disebut dengan “Pura Bukit Cemara
Geseng”.
Ngaben yang ada di Lemukih awalnya diistilahkan dengan “Pemuunan” yang artinya pembakaran. I Made Widhi
juga mengatakan “Dulu, upacara Ngaben dengan membakar mayat pernah
dilakukan di Lemukih, hanya saja pada waktu proses pembakaran mayat
berlangsung kejadian aneh terjadi. Tiba-tiba api yang dinyalakan untuk
membakar mayat selalu mati hingga api tidak bisa dinyalakan dan mayat
yang ada di dalam peti tiba-tiba mengeluarkan keringat. Tidak hanya itu,
ada beberapa masyarakat yang ada di sekitar tempat dilangsungkannya
upacara pembakaran mayat itu mengalami (kelingsenan) atau kesurupan massal. Salah satu orang yang mengalami (kelingsenan) itu
mengatakan bahwa upacara pengabenan tidak boleh dilakukan dengan
membakar mayat, karena asap dari pembakaran mayat itu akan sampai ke
Pura Bukit Cemara Geseng yang sudah tentu menyebabkan pura itu “leteh”
atau kotor. Pengabenan cukup dilakukan dengan mencabut tanaman yang
hidup disekitar kuburan dari yang di abenkan. Kemudian, tanaman yang
sudah dicabut dibungkus dengan kain putih kuning dan dibawa oleh anak
perempuan yang masih kecil (suci).
Setelah
kejadian itulah masyarakat Lemukih meyakini bahwa upacara Ngaben tidak
dilakukan dengan cara membakar mayat tetapi mencabut tanaman yang tumbuh
di sekitar kuburan yang di aben. Apabila larangan itu dilanggar maka
seluruh desa akan mengalami malapetaka seperti ”Gerubug “ yang artinya meninggal tanpa sebab yang pasti . klik untuk info berita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar